ALOKASI DANA ZAKAT MAL UNTUK DISTRIBUSI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR (Kajian Filsafat Ilmu Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga mendapatkan penerangan pada hati dan jiwa dalam rangka menyelesaikan tulisan ini. Salawat dan salam keharibaan nabi muhammad saw yang telah menyampaikan risalah kebenaran bagi sekalian umat manusia dengan memperkenalkan kebenaran dari pada hal-hal yang salah. Kepada all sahabat yang senantiasa mendampingi beliau dalam mengemban tugas risalah dari Allah swt.
Sebagai kata ta’dhim dan terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, MA yang telah memberi wawasan bagi penulis tentang hakikat islam dengan ajaran yang dibawanya melalui pendekatan filsafat ilmu. Semoga akan lebih bermanfaat pada tahapan pengembangan ilmu-ilmu keislaman pada tatanan lebih lanjut.
Sebagai kata pembuka dalam tulisan ini penulis ingin mengajak jiwa untuk melihat beberapa persoalan yang harus dituntaskan oleh semua kalangan dalam usaha membangun pondasi umat yang berjaya menuju peradaban yang agung sesuai dengan maksud yang dikehendaki dari ke lima pilar islam. Yang tentunya sebagai menifestasi dari mencari keridhaan Allah swt.
Pondasi islam yang terhimpun dalam lima pilar inilah yang membedakan antara agama-agama samawi dan ardhi lainnya, diantara pondasi tersebut adalah menyangkut perihal zakat yang menjadi pusat perhatian penulis. Karena perihal ini merupakan salah satu yang sangat urgen di samping hal lain yang kita kenal dalam islam, didukung pula oleh saling nasehat menasehati dan tolong menolong dalam agama oleh karenanya zakat yang penulis anggap menjadi salah satu modal dasar pemeluk agama dalam membina dan menciptakan solidaritas, kesatuan dan persatuan umat islam dan pengaruhnya terhadap penguatan ekonomi demi tegaknya agama Islam.
Langkah menuju sebuah peradaban yang makmur tentunya dilalui oleh perkembangan khazanah intelektual, maka dalam rangka menambah khazahan tersebut seyogianya penulis melakukan kajian lebih lanjut tentang perintah mengeluarkan zakat, jenis-jenis harta yang wajib dizakati, dan golongan-golongan yang berhak menerima zakat. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa pendekata yang kiranya dapat membatu menjawab permasalahan yang dikaji.
Dengan melihat perkembangan pelaksanaan zakat pada masa rasulullah jauh berbeda dengan masa khulafaurrasidin umar bi khattab. Perbedaan ini disebabkan oleh kemunculan hal-hal baru yang belum pernah terjadi pada masa rasul sehingga dibutuhkan ijihad dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara itu sendiri oleh karena itu menurut penulis perkara zakat termasuk dalam ranah ijtihadiyah.
Berdasarkan hal ini mengingat permasalahan zakat sebagai azas utama dalam islam, pada tatanan praktik ia dapat berfungsi unuk meningkatkan kesejahteraan manusia, bangsa dan agama, maka jika hal ini berada pada tatanan konseptual yang selalu diperdebatkan maka islam akan mengalami kemunduran dan terus menerus dalam ke miskinan dan kefakiran. Sebagaimana dalah hadist (Kadal Fakru Ayyakuna Kufran: Kefakiran akan membawa kepada kekufuran), karena itu melihat zakat ini memiliki pengaruh yang sangat besar maka kajian secara ilmiyah dilakukan dengan mengangkat tema: Alokasi Dana Zakat Untuk Distribusi Pembangunan dan Pengembangan Infrastruktur.

BAB I
PENDAHULUAN

Agama Islam adalah Agama yang tinggi dan Ummat Islam adalah ummat yang mulia, yakni ummat yang dipilih Allah untuk mengemban risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala ummat. Tugas ummat Islam adalah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka berada. Karena itu ummat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Pondasi Islam yang terhimpun dalam lima pilar-pilar utama yaitu: 1). Syahadat, 2). Shalat, 3). Puasa, 4). Zakat dan 5). Haji. Inilah yang membedakan antara agama-agama samawi dan ardhi lainnya, diantara pondasi tersebut zakat merupakan salah satu yang sangat urgen di samping hal lain yang kita kenal dalam islam, karenanya hal ini anggap menjadi salah satu modal dasar pemeluk agama dalam membina dan menciptakan solidaritas, kesatuan dan persatuan umat islam dan penguatan ekonomi demi tegaknya agama.
Sebagaimana yang kita dapati dalam sejarah perjalanan rasul bersama para sahabat dalam menjalankan misi dakwa, perintah zakat sudah ada sejak sebelum hijrah kemadinah meskipun pada pelaksanaanya pertama kali adalah pada tahun kedua hijrah rasul, hal ini diformulasikan dalam zakat fitrah (ramadhan) dan diikuti dengan zakat mal pada bulan selanjutnya (syawal). Pada masa ini keadaan negara sangat stabil karena dipimpin langsung oleh rasul dan problem zakat juga berjalan lancar sebagaimana yang diharapkan.
Setelah Rasulullah wafat pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq, munculah orang-orang yang kembali mengingkari zakat sehingga sahabat mengambil langkah tegas dengan memerangi terhadap mereka yang enggan mengeluarkannya, pemungutan tersebut di ambil dari jenis-jenis harta yang wajib dizakati, untuk diberikan terhadap golongan-golongan yang berhak menerima zakat.
Perkembangan zakat pada masa rasullullah dengan masa khulafaurrasidin didapati banyak perbedaan baik dalam hal pemungutan, maupun dalam hal distribusi, perbedaan ini disebabkan oleh kemunculan hal-hal baru yang belum pernah terjadi pada masa rasul sehingga dibutuhkan ijihad dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara itu sendiri oleh karena itu menurut penulis perkara zakat dalam termasuk dalam ranah ijtihadiyah meskipun dalam al-qur’an dan sunah telah dijelaskan secara tegas.
Anggapan ini bukanlah dengan maksud membantah terhadap sesuatu yang telah qath’i namun dalam hal aplikasi lebih pada skala prioritas sebagaimana halnya didapati dalam pandagan Muhammad Rasyid Ridha, menafsirkan fisabilillah adalah sebagai maslahah ammah sebagai suatu kepentingan umum yang dapat mengeksistensikan urusan-urusan agama termasuk pengkebumian jenazah. Muhammad Syaltut, sesuatu yang bukan milik individu dan pemanfaatan secara individu namun ia adalah milik allah dan dimanfaatkan secara umum. Kedua ulama ini tidak menemukan maksud lain dalam surat at-taubah :60 melainkan maslahah ammah .
Islam sebagai agama universal tentunya memiliki mekanisme yang jelas tentang distribusi kekayaan untuk keadilan sosial dalam konteks zakat, sehingga sirkulasi kekayaan tidak hanya pada tataran orang kaya saja namun masyarakat miskin juga memiliki hak dari sebagian harta mereka. Karena pada kenyataannya Islam memiliki bentuk hubungan antara Khalik dengan makhluk-Nya; hubungan antara sesama mahluk, dengan semesta alam dan kehidupan; hubungan antara individu dan masyarakat, antara individu dan negara, antar seluruh umat manusia, dan antar generasi satu dengan generasi yang lain. Refleksi dari permasalahan ini secara bersama harus di tuntaskan sehingga dengan dana zakat menempati posisi dalam upaya pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Berdasarkan pandangan tersebut penulis melakukan pengkajian secara seksama terhadap bidang-bidang yang tetap eksis menerima bagian diri golongan yang berhak dan terhadap golongan yang dapat digantikan dengan hal lain yang lebih penting demi kemaslahatan umum maslahah ammah. Penulis dengan sagat menyadari bahwa bagian-bagian yang telah ditetapkan oleh Allah adalah suatu yang pasti namun dalam pandangan terhadap hal ini at-taubah :60, penggunaan kata waw sebagai kata penghubung menunjukkan muthlak jamak yang tidak hanya dibatasi pada enam golongan itu saja melainkan terdapat hal-hal lain dengan makna inflisit yang ditunjukkan oleh realitas sosio-historis, aktual, yang didukung oleh kemudahan yang diberikan oleh Allah dalam hal beragama, dengan tujuan adalah untuk kemaslahan manusia dengan tidak melampaui batas-batas haq yang telah ditentukan oleh Allah swt.
Dalam proses penulisan untuk memenuhi kebutuhan data yang bersifat primer maupun sekunder penulis menggunakan fasilitas internet (web brousing) melalui pustaka dan sebagian besar dari situs google book. Adapun Sebagai metodologi yang digunakan dalam rangka menemukan jawaban secara objektif penulis memadukannya antara teks al-qur’an, sunah, sejarah, dan menganalisa atas kebutuhan yang terjadi pada hari ini berdasarkan kajian filsafat ilmu yang tesusun dari epistemologi, ontologi dan aksiologi disamping dengan menggunakan lima daya indrawi dalam mempertajam analisis sebagaimana penafsiran sufistik imam al-ghazali surat an-nur: 35 “(1. Misykat:indrawi, al-ruh al-hisas, 2. Misbah: rasional, al-ruh al-‘aqliyh, 3. Azzujajah:imajinasi, al-ruh al-khayali, a). Imajinasi Material padat dan rendah, b), imajinasi pekat dihaluskan dan di gosok menjadi titik rasional, c). Imajinasi terstruktur agar tidak terombang ambing dan berserakan), 4. Syajarah al-Mubarakah:Jiwa Reflektif, al-ruh al-fikri, dan 5. Zaitun: Pemikiran yang menyala sekalipun tanpa ada bantuan ari luar)”. Melalui potensi-potensi dasar inilai dirangkai dengan potensi aqidah Islamiyah (tauhid), dengan harapan memperoleh hasil yang dapat memberi pencerahan bagi penulis sendiri dan terhadap pembaca sekalian.

BAB II
PEMBAHASAN

A. ONTOLOGI ZAKAT
Dalam pembahasan Filsafat, Epistimologi dikenal sebagai sub system dari filsafat di samping meliputi Epistimologi, Ontology dan Aksilogi. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Untuk memberi kepastian pemahaman maka dalam hal ini perlu pendefinisian yang utuh sebagaimana P. Hardono Hadi memberi pengertian Epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menemukan kodrat dan skop pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya serta mempertanggung jawabkan atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sedangkan Aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat yakni kegunaan atau fungsi dari apa yang dipikirkan itu. Ontology adalah teori tentang “ada” yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Ketiga sub system ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontology, epistemology dan aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan ada sesuatu yang dipikirkan (ontology) lalu dicari cara-cara pemikirannya (epistemology) dan kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Berdasarkan objek pemikiran yang disandarkan kepada konsep zakat maka pengkajian akan dibahas dalam beberapa poin berikut:
1. Pengertian Zakat
Zakat berasal dari kata Zaka-Yazku-Zakaan atau Zakiya-Yazka-Zakan yang berarti suci, bersih, tumbuh, berkembang, bertambah, dan berkah, namun sering diartikan dengan menyucikan atau membersihkan. Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘keberkahan’, al-namaa ’pertumbuhan dan perkembangan’, at-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shalahu ‘keberesan’. Dalam Hadist Riwayat Turmuzi disimpulkan, zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. Asy-Syamsu:9).
Secara Terminologi Zakat menurut Al-Mawardi mendefinisikan zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Jadi dapat diartikan bahwa zakat adalah nama atau sebutan dari suatu (hak Allah Ta’ala) yang dikeluarkan seseorang kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dinamakan zakat karena didalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkah, membersihkan jiwa, memupuk berbagai kebaikan.
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), Para fukaha Mazhab Imam Maliki mendefinisikan zakat sebagai ”mengeluarkan harta yang khusus dari pada harta yang khusus yang telah dicapai ukuran kuantitas yang mewajibkan zakat kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) dengan syarat pemilikan penuh dan mencapai haul bukan barang tambang atau pertanian. Imam Hanafi mendefinisikan zakat sebagai menjadikan sebagian harta yang khusus dari pada harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus yang ditentukan oleh syara’. Imam Asy-Syafi’i mendefinisikan sebagai suatu ungkapan untuk mengeluarkan harta tertentu secara wajib dan di tagih dari golongan tertentu apabila mencukupi syarat dan kewajibannya. Dan Imam Hambali mendeinisikan zakat sebagai hak yang wajib dikeluarkan dari pada harta yang khusus untuk diberikan kepada kelompok yang khusus juga.
Terhadap penggunaan definisi sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama tersebut itu secara legal menempati definisi formalistis. Namun bila definisi itu dibawa keranah filsafat ilmu maka terletak kelemahan secara filosofis, struktur dan tata laksana zakat, sebagaimana definisi operasional zakat, objek zakat, harta yang wajib dizakati, kadar zakat, batas minimal zakat dan sarana pembelanjaan zakat. Dengan membatasi pada definisi operasional zakat berdasarkan keterangan al-qur’an dan hadist tidak dapat dilakukan penelaahan lebih lanjut maka diperlukan peran akal.
Zakat bila disandarkan berdasarkan pengertian tumbuh dan berkembang dapat dipahami bahwa mewujudkan pertumbuhan secara signifikan dan membentuk karakter kejiwaan bagi si fakir, disamping itu dapat mewujudkan pertumbuhan bagi si kaya baik jiwa maupun hartanya. Hal ini didasari pada konsep ”Fi Kulli Tsumbulatin Miatu Habbah” oleh karena itu bertambah disebut sebagai bentuk yang tumbuh.
Jika dilihat berdasarkan pandangan filosofi bahasa kata tumbuh atau berkembang menunjukkan kepada sebuah makna yang dipahami secara implisit adalah tidak tetap pada bentuk yang sama artinya berkembang biak, yang hidup, dan yang bermanfaat. Oleh karena itu dalam konteks distribusi zakat itu sendiri harus diberikan berbentuk suatu barang, benda atau suatu hal yang bermanfaat sehingga dan dapat digunakan untuk kebutuhan, pertumbuhan dan perkembangan oleh mustahiq zakat itu sendiri.
2. Dasar-Dasar Hukum Zakat
Dalam al-qur’an kata zakat selalu diiringi oleh kata shalat, disebutkan sebanyak 28 kali namun sebagian pandangan menyebutnya 32 kali, jumlah ini sangat tergantung pada proses identifikasi. Terlepas dari perbedaan perhitungan berkenaan dengan jumlah yang pada intinya menunjukkan bahwa ”zakat dan shalat” mempunyai kaitan erat.
Sebagai ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun islam, bahwa keberadaan zakat dianggap sebagai suatu yang diketahui secara otomastis adanya dan merupakan bagian muthlak dari keislaman seseorang, ini yang menunjukkan ciri-ciri utama orang mukmin dalam hal menyucikan harta (inna fil mal haqqu syiwa zakat) yang dikontribusikan berdasarkan yang di atur dalam al-qur’an dan hadist dan didasari kepada kebutuhan pada sesuatu yang bermanfaat (maslahah mu’tabarah) dan tidak bertentangan dengan agama.
Dilihat dari segi jenisnya, zakat di bagi menjadi dua macam yaitu zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal Menurut bahasa (lughat), Harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya sedangkan Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim).
Terhadap pensyariatan zakat itu sendiri berdasarkan mayoritas pandangan ulama disebukan bahwa zakat mulai disyariatkan pada tahun ke 2 hijriah, pada tahun itu diwajibkan zakat fitrah pada bulan ramadhan dan zakat mal pada bulan syawal. Hal ini sebagaimana yang dipahami dalam ayat yang diturunkan di Makah (QS. Al-mu’minun: 4) yang artinya ”dan orang-orang yang menunaikan zakat” dan dikuatkan pula oleh ayat yang lain yang diturunkan di Madinah (QS. Al-an’am: 141), yang artinya ”... dan berikanlah (haknya) pada waktu memetik hasilnya...”. Ahli tafsir berpendapat bahwa meskipun ayat itu diturunkan di makah dan pelaksanaan zakat pertama kali di madinah menunjukkan bahwa sejak di Makah sudah dikenai tuntutan zakat.
Teks al-qur’an yang membicarakan tentang zakat sebagaimana yang dibutuhkan dalam proses pengkajian ini dapat diklasifikasikan antara lain adalah:
a. Kewajiban menunaikan zakat sebagaimana yang disebut dalam: QS. At-Taubah: 103
b. Harta yang wajib di zakati sebagaimana yang disebut dalam QS. At-Taubah: 34-35
c. Golongan penerima zakat sebagaimana yang disebut dalam QS. At-Taubah: 60, QS. Al-Baqarah: 267
Dari ke tiga poin di atas memiliki peran masing-masing seperti halnya kewajiban menunaikan zakat bagi setiap orang islam berdasarkan tuntutan zakat bagi harta maupun jiwa. Kamudian dari harta yang wajib di zakati adalah dari suatu yang memberi faedah untuk orang lain yang tentu tidak sebaliknya yang membawa kemudharatan jiwa seseorang. Begitu juga mengenai golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang disebutkan bagi golongan-golongan yang berhak menerima zakat itu sendiri.
a. Kewajiban Menunaikan Zakat
Ditinjau dari kewajiban menunaikan zakat sebagaimana yang tertuang dalam surat QS. At-Taubah: 103, ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mengsucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka...”. Ayat ini dapatlah dipahami secara jelas bahwa Allah Ta’ala memerintahkan mengambil sebagian harta dari orang-orang islam yang kaya sebagai sadaqah, untuk mensucikan dan membersihkan mereka. Perintah ini menunjukkan kepada keumuman lafaz, meskipun dari sebagian penafsir menjelaskan bahwa kembalinya kata ganti (dhamir) ”ditujukan kepada orang-orang yang mengakui kesalahnnya karena mencampur adukkan antara yang baik dengan yang buruk”. Berdasarkan hal itu Abu bakar menolak terhadap penafsiran yang salah itu sehingga memerangi mereka sampai mau mengeluarkan zakatnya.
Perintah ini telah dahulu disinyalir oleh ayat al-quran yang diturunkan di makah (lizzati faa’ilun) yang seyogianya menjadi perintah awal yang meskipun setelah hijrah baru disyariatkan zakat itu sendiri.


b. Barang-Barang Yang Wajib Di Zakati
Formalisasi zakat pada tahap pertama setelah rasulullah hijrah ke madinah adalah berupa emas, perak, sebagaimana yang disebut dalam QS. At-Taubah: 34-35. Menurut Muhammad Akhtar Saeed al-Sidiqqi mengemukakan bahwa perkembangan hukum zakat baik pada zaman Rasulullah saw, sahabat maupun pada zaman tabi’in adalah berasaskan ijtihad. Berdasarkan apa yang telah dilakukan oleh Khulafa’ al-Rasyidin pula, paling tidak empat reformasi dalam pengurusan zakat boleh dilaksanakan. Berdasarkan hal ini pemerintah dapat menggunakan kuasa dalam menentukan zakat dari pihak-pihak yang telah cukup syarat sekalipun terpaksa. Kemudian pemerintah dapat melakukan pengkajian terhadap semua bentuk-bentuk pelaksanaan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dan mengubahnya sesuai dengan perkembangan masa. Selanjutnya pemerintah boleh melakukan perubahan tentang qanun zakat yang telah dibakukan dan pemerintah boleh memperluas wewenang zakat mengenai suatu harta yang baru ditemukan di kalangan masyarakat.
Diantara ayat-ayat lain yang dikenakan dengan harta yang wajib dizakati ialah:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukan kepada mereka (bahawa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (at-Taubah, 9: 34);

“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakat)” (al-An’am, 6: 141); dan

“Wahai orang-orang yang beriman! Belanjakanlah (pada jalan Allah) sebahagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (al-Baqarah, 2: 267).

Sunnah Rasulullah saw kemudian menjelaskan harta-harta yang yang difardhukan zakat, berapakah nisabnya, dan berapakah kadar yang dikenakan dengan lebih lanjut (al-Qaradawi, 1999: 71). Antaranya seperti sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud:

“…tidak difardhukan atas kamu sesuatu pun pada emas sehingga ada bagi kamu dua puluh dinar; kalau engkau ada dua puluh dinar, dan ia pula genap setahun lamanya dalam simpanan kamu, maka zakatnya ialah setengah dinar…” (riwayat Ahmad dan Abu Dawud);

“Rasulullah s.a.w memerintah kami supaya mengeluarkan zakat ke atas barangan yang disediakan untuk dijual” (riwayat Abu Dawud);

“Tanaman yang disiram dengan air hujan atau air mata atau tumbuh sendiri zakatnya satu per sepuluh dan tanaman yang disiram dengan alat siraman zakatnya satu per duapuluh” (riwayat Bukhari);

“…tidak dikenakan zakat pada unta yang kurang dari lima ekor” (riwayat Bukhari), dan

“…dan pada rikaz (difardhukan zakatnya) satu perlima…” (riwayat Bukhari)

Berdasarkan Sunnah Rasulullah saw inilah para fuqaha’ telah membahagikan harta yang difardhukan zakat kepada lima jenis. Ia meliputi al-‘ayn yakni, emas dan perak; al-tijarah yakni, perniagaan; al-harth yakni, pertanian; al-mashiyyah yakni, ternakan; dan al-rikaz yakni, hasil dari perut bumi. Berdasarkan hal ini menunjukkan bahwa terhadap harta-harta yang wajib untuk dizakati tidak terbatas pada beberapa hal saja sebagaimana yang disebutkan namun termasuk dari segala bentuk produktif yang berasal dari suatu usaha yang baik-baik.
c. Golongan-Golongan Yang Berhak Menerima Zakat
Dilihat berdasarkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang disebut dalam QS. At-Taubah: 60.
Artinya: ”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Rasulullah SAW, bersabda:
امرت ان اخذ الصدقة من اغنيائكم واردها على فقرائكم
Artinya: ”Aku diperintahkan untuk mengambil sedekah dari orang kaya diantara kamu sekalian, untuk aku berikan kepada orang-orang fakir diantara kalian”
Berdasarkan bagian-bagian yang disebut di atas, maka dalam hal ini penulis membahas secara rinci mengenai bagian-bagian ini dengan tujuan untuk membuktikan peran fungsi secara prioritas dan universalitas. Dengan mengetahui hal ini berdasarkan tujuan dan eksistensinya maka dari setiap bagian-bagian tertentu yang dapat mungkin dapat diganti posisikan oleh yang lainnya atau berlaku tetap sebagaimana haknya. Dengan demikian berdasarkan keterangan al-Qur’an dan Hadist maka dapat dijelaskan bahwa Mustahik zakat (zakat mall) terdiri dari 8 (delapan) asnaf (golongan), yaitu: 1). Fakir, 2). Miskin, 3), Amil, 4). Muallaf, 5), Hamba Sahaya, 6). Garimah, 7). Fisabilillah dan 8). Ibnu Sabil.
1) Fakir
Fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak memiliki harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup. Imam Asy-Syaukani dalam konteks zakat fitrah disebutkan bahwa: “barang siapa yang tidak mendapatkan sisa dari makanannya untuk malam hari raya dan disiangnya maka tidak berkewajiban membayar zakat, namun sebaliknya jika ia memiliki sisa dari makanan pokok hari ini maka ia harus mengeluarkannya. Begitu juga dalam kontekas zakat mall mereka termasuk pada level tidak mampu. Terhadap orang ini tidak ada celah untuk digantikan oleh posisi yang lain jika disebabkan oleh kefakirannya yang bahkan tidak memiliki sepetak tanahpun untuk melakukan usaha atau tempat dibangun rumah. Dalam kondisi ini seharusnya mendapatkan sepetak tanah untuk berrodktifitas sehingga dapat menetarakan diri dengan masyarakat lainnya dalam hal pendapatan. Maka untuk itu golongan ini masih membutuhkan bantuan dari dana zakat yang dipandang belum dapat digantikan oleh yang lain. Ia baru dapat digantikan setelah pemerintah telah pernah memberinya pada tahun yang lalu yang diperkirakan cukup untuk modal produktif.
2) Miskin
Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup dan keluarganya. Terhadap orang ini sedikit berbeda dengan keadaan si fakir, berdasarkan pandangan kebutuhan dasar hidup yang barangkali telah terpenuhi namun bila disandarkan pada tempat tinggal, yang tidak layak huni atau bila di sandarkan pada belum terpenuhi layaknya orang normal dan pakaian yang compang-camping. Maka terhadap orang ini juga masih membutuhkan perhatian zakat.
Analisis terhadap hal ini, menurut pemahaman penulis disebut sebagai masyarakat miskin bukanlah tergantung pada penghasilan tetap yang mereka peroleh namun lebih tertuju pada aplikastifnya sebab terdapat sebagian masyarakat yang tidak mencukupi kebutuhan meskipun ia mendapat bayaran gaji dari pemerintah namun ia memperoleh pembayaran tetap. Dan masyarakat yang penghasilannya hanya dari hasil pertanian yang setelah di bayang berbagai macam ongkos sisa uang hanya cukup untuk satu bulan saja tidak sampai pada masa panen selanjutnya sehingga ia harus berhutang kembali, maka terhadap orang ini termasuk dalam kategori masyarakat miskin. Maka penilaian terhadap orang-orang yang termasuk miskin harus dilihat secara objektif. Maka terhadap golongan masih berkemungkinan untuk tidak dapat digantikan oleh yang lain.
3) Amil
Pengurus Zakat atau Amil adalah Mereka yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Orang ini adalah petugas, panitia, pengurus yang di angkat secara khusu baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Ulama mazhab hambali berpendapat bahwa tidak disyaratkan amil adalah orang merdeka, dan pendapat yang lain tidak membatasi syarat bagi amil itu harus seorang muslim karena ia berstatus sewa.
Apabila harta zakat rusak di tangan panitia maka mereka tidak wajib menanggungnya, kemudian upahnya di ambil dari kas negara atas kebijaksanaan si imam. Tetapi jika tidak rusak maka upah mereka diambil dari harta zakat itu atau mungkin juga di ambil dari kas negara kalau memang imam memandang itu perlu.
Analisis terhadap masalah amil ini, Terhadap pembagian zakat fitrah bagian amil masih dapat diberlakukan dan namun tidak dapat di berlaku untuk staf yang dibebankan atas gaji yang dibayar oleh pemerintah karena orang ini telah memperoleh hak pada setiap bulannya, seperti halnya pekerja pada baitul mal. Dilihat berdasarkan sistim islam pada masa rasulullah, maka keberadaan amil memperoleh hak dari zakat karena negara yang dipimpin oleh rasulullah sendiri tidak memberi upah atau gaji secara utuh namun diambil berdasarkan harta zakat. Berbeda halnya hari ini dimana dana zakat telah dikelola oleh sebuah badan dan setiap pegawai yang mengurus tentang hal itu mendapat gaji dari pemerintah karena statusnya sebagai pengeban tugas-tugas pemerintah dalam sebuah instansi-instansi tertentu. Oleh karena setiap karyawan itu memperoleh gaji tetap dari pemerintah itu sendiri maka hak untuk memperoleh bagian dari harta zakat itu adalah batal. Sebagaimana halnya rasulullah mengambil atau mencabut dari petugas pengutip zakat dari sesuatu hadiah yang diberikan oleh yang mengeluarkan zakat. Maka untuk itu pada senif ini dipandang dapat diganikannya oleh kebutuhan yang lain.
4) Muallaf
Muallaf sebagaimana yang didefinisikan adalah mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya artinya masih lemah dalam hal pemahaman tentang islam dan masil lemah juga dalam sendi-sendi lain dalam lingkungan islam. Rasulullah mendefinisikan muallaf adalah orang kafir yang diharapkan keislaman mereka dan orang kafir yang cenderung berbuat jahat kepada orang islam, oleh sebab itu kepada mereka zakat disalurkan dalam usaha melunakkan hatinya kepada islam. Terhadap mereka yang disebut sebagai mualaf sebagaimana yang diriwayatkan dari sanadnya Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah saw memberi seratus unta dari harta rampasan perang hunain (ghanimah) kepada al-Aqra’ bin Habis, Unainah, dan beberapa pemuka lainnya.
Didasari pada kondisi umat islam yang sudah kuat, maka sahabat tidak memberikan zakat lagi kepada kafir sebagaimana yang diberikan oleh rasul. Pada saat itu Uyainah menghadap Abu Bakar siddiq, selanjutnya abu bakar siddiq menyuruh mereka untuk menghadap Umar Bin Khattab, ketika mereka telah menyampaikan maksud tersebut maka umar berkata “sesungguhnya Rasulullah telah bersikap halus kepada kalian ketika itu kaum muslimin masih sedikit, namun hari ini Allah telah memuliakan umat islam maka bekerjalah kalian serta ikutilah pada petunjuk tuhan kalian, layaknya muslim lainnya bekerja, maka barang siapa yang ingin beriman atau bagi siapa yang ingin tetap kafir maka keputusan hari ini seperti yang aku putuskan”.
Sebagaimana realitas di atas menunjukkan bahwa konsep muallaf sebagaimana yang disebut dalam al-qur’an bersifat ta’aqquli yang membuka ruang untuk sebuah inovasi baru dalam bentuk implementasi berdasarkan realitas sosial, Maka untuk itu pada senif ini dipandang dapat diganikannya oleh kebutuhan yang lain.
5) Hamba sahaya (budak)
Hamba sahaya atau budak yang ingin memerdekakan dirinya tuannya termasuk juga melepaskan orang muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. Budak ini di Dalam perkembangan kebahasaan ini di nisbahkan kepada golongan atau bangsa yang sedang membebaskan diri dari ekploitasi pihak lain. Untuk itu dinilai golongan ini tidak didapati atau sudah dihapus perbudakan setelah islam. Untuk itu budak sistem perbudakan sudah tidak ada lagi. Namun jika dipahami bentuk penawanan ini termasuk dalam proses penawanan penjara oleh orang kafir terhadap orang muslim yang menurut manyortas dianggap tidak bersalah maka bagian ini harus dikhususkan bagi mereka yang membutuhkan tebusan. Jika dalam pandangan negara yang bersangkutan merupakan pelanggaran besar yang harus dilakukan eksekusi mati maka hal tersebut menjadi sebuah pertimbangan namun jika dalam pandangan islam mereka tidak bersalah mata pemerintah islam harus menuntut keadilan. Oleh karena itu pemerintah dapat melakukan negosiasi untuk melakukan invetigasi lebih lanjut tentang kasus atau perkara yang menjerat hukuman mati bagi pelaku pelanggaran tersebut. Berdasarkan anggapan saat ini tentang pelepasan sandra atau dari kurungan penjara di luar daerah belum diakui sebagai pengganti dari pelepasan budak maka untuk itu pada senif ini dipandang dapat diganikannya oleh kebutuhan yang lain.
6) Gharimin
Gharimin adalah mereka yang berhutang untuk keperluan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya dan yang mengalami kesengsaran dalam perjalanan dalam hal ini tidak termasuk orang yang maksiat . Apabila seorang yang berutang itu di hadapi sebuah ancaman terhadap jiwa maka keadaan ini menjadikannya berhak menerima zakat itu jika hutangnya berbentuk biasa tidak berbahaya maka jika ia datang untuk memperoleh haknya maka berdasarkan keputusan yang diambil oleh mu’ammil.
Senif zakat yang diberikan kepada gharimin diharapkan dapat memulihkan orang yang terbelenggu oleh hutang, hal ini menunjukkan bahwa institusi zakat bertanggung jawab membantu mereka melalui dana zakat supaya dapat berperan seperti semula dalam masyarakat. Hal ini didasari pada sabda rasullullah saw:
Artinya : “Dilarang umat islam meminta-minta kecuali pada tiga sebab yaitu berhutang, hartanya dihanyutkan air, terbakar atau dibelanjakan untuk tanggungan sehingga tidak mempunyai harta langsung” (HR. Bukhari).
Terhadap bagian ini dikhususkan bagi orang-orang yang dalam keadaan melarat baik itu disebabkan oleh dililit hutang atau disebabkan oleh bencana yang tidak meninggalkan sisa dari hartanya sedikitpun atau terbakar. Maka terhadap kondisi ini harus dikondisikan, jika memang pada saat tertentu dibutuhkan golongan ini tidak ada maka senif ini dipandang dapat diganikannya oleh kebutuhan yang lain
7) Fasibilillah
Fisabilillah adalah orang yang berjuang di jalan Allah untuk keperluan mempertahankan agama islam dan kaum muslimin. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan kata fisabilillah, hal ini disebabkan pada keumuman lafaz fisabilillah itu sendiri, sehingga memberikan penafsiran yang berbeda dalam melihat makna secara utuh dan penjabaran dari makna itu. Maka dalam kaitannya dengan hal ini terdapat dua pandangan yaitu taqarrub ilallah dan maslahah ammah.
Dari kalangan mazhab hanafi (abu yusuf) memandang itu sebagai lafat mutlak jadi menurutnya fisabilillah adalah tentara-tetara sukarelawan perang dan yang tidak mampu lagi berperang. Sebagian dari kalangan hanafiya yang lainnya memandang adalah jemaah haji yang kehabisan bekal. Dari kalangan mazhab maliki memandang fisabilillah itu kepada makna umum, namun dia beliau tidak dapat mengklasifikasikannya kecuali berperang pada jalan Allah. Memahami pendapat ini memungkinkan terjedi perluasan makna terhadap itu. Dari kalangan imam syafi’i seperti imam nawawi dan ibn hajar berpendapat bahwa dimaksud dengan fisabilillah adalah sukarelawan perang yang tidak mendapatkan gaji dari negara. Dan dari kalangan imam hambali memiliki pandangan yang sama seperti kalangan syafi’i sebagai suka relawan yang berperang berhak zakat dari kerajaan.
Secara umum dari ke empat kalangan imam mazhab ini menyepakati bahwa pertama, jihad termasuk dalam kategori fisabilillah, kedua, menyerahkan kitipan zakat kepada individu yang berjuang di jalan Allah dan ketiga, kutipan zakat tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti membangun jembatan, sekolah, mesjid dan sebagainya. Dalam memperkuat hal ini mereka menggunakan hujjah, pertama, lafaz fisabilillah bersifat umum oleh karenannya tidak boleh dikhususkan, kedua, terdapat hadist yang membicarakan tetang bekal untuk perjalanan haji, ketiga, kutipan zakat untuk semua perkara kebaikan.
Terjadi perbedaan pandangan dikalangan pemikir muslim pada abad setelah itu sebagaimana ditemukan pandangan Muhammad Rasyid Ridha, menafsirkan fisabilillah adalah sebagai maslahah ammah sebagai suatu kepentingan umum yang dapat mengeksistensikan urusan-urusan agama termasuk pengkebumian jenazah. Muhammad Syaltut, sesuatu yang bukan milik individu dan pemanfaatan secara individu namun ia adalah milik allah dan dimanfaatkan secara umum. Kedua ulama ini tidak menemukan maksud lain dalam surat at-taubah :60 melainkan maslahah ammah.
Berdasarkan pandangan yang disandarkan pada pendapat imam maliki dan dikalangan pemikir ulama muslim setelahnya maka penulis berkesimpulan lebih dekat kepada pemahaman atas illah terhadap maslahah ammah yaitu bagian fisabilillah dapat diperuntukkan bagi kepentingan umum lainya. Maka dengan demikian hal ini dapat di alihkan kepada hal yang lainnya.
8) Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan yang mengalami kesurangan atau kesengsaraan. mereka yang kehabiasan biaya diperjalanan. Musafir ini berlaku baik di dalam maupun di luar negeri tempat ia mukim. Ulama mazhab maliki dan hambali bahwa musafir yang kehabisan bekal jika tidak memperoleh yang berbentuk pinjaman maka terhadap orang ini harus dibantu, ketentuan ini juga disepakat oleh mayoritas ulama.
Dalam pandangan selanjutnya ibnu sabil diperluas maknanya termasuk bagi penuntut ilmu agama dan dari berbagai keilmuan umum yang berpengaruh bagi agama dengan bekal ilmu yang diperoleh dapat berguna untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dan agama. Maka jika bekal yang dibawanya sudah habis dan tidak memperoleh pinjaman maka ia dapat memperolehnya dari bagian zakat.
Ibnu sabil dalam kapasitasnya untuk memperoleh suaka politik baik disebabkan oleh dikucilkan atau seumpamanya dari suatu daerah sehingga berpindah ke daerah lainnya jika ia tidak membawa bekal apa-apa dan tidak ada tempat pinjaman sementara sedang ia berasal dari kalangan muslim dipandang perlu mendapat bantuan dari dana zakat.
Adapun berkaitan dengan kebolehan memberi zakat hanya untuk satu golongan saja dari delapan golongan tersebu dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
1. Menurut Malik dan Abu Hanifah, penguasa boleh mengkususkan penerimaan zakat kepada satu golongan saja atau lebih apabila situsi dan kondisinya.
2. Menurut Syafi’i zakat tidak boleh diserahkan kepada golongan tertentu, namun harus dibayarkan kepada 8 golongan secara menyeluruh seperti yang disebutkan oleh Allah dalam ayat diatas.

Zakat boleh diberikan kepada kepada salah satu dari delapan golongan tersebut sebagaiman yang diriwayatkan dari Nasa’i: ”Jika harta zakat banyak dan cukup untuk dibagikan kepada 8 golongan, maka harus dibagikan. Namun, jika tidak memadai, boleh diberikan hanya pada satu golongan.” Imam Malik berkata: ”Zakat harus diprioritaskan kepada golongan yang paling membutuhkan.” (Ibnu Qudama:jilid II).
Ziyad bin Harits ash-Shuda’i, berkata yang
Artinya: ”Aku datang menjumpai Rasulullah SAW lalu berbait kepadanya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan berkata, berilah aku pemberian zakat! Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak rela dengan ketetapan dari Nabi atau lainnya mengenai zakat hingga Allah memutuskan sendiri dalam masalah ini. Allah lalu memberikan penerima zakat kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk dalam salah satu dari delapan golongan itu, tentulah aku akan memberikan bagianmu.! (H.R. Abu Daud, pada sanadnya terdapat Abdurrahman al-Ifriqi. Ia adalah seorang yang masih menjadi pertikaian pendapat dikalangan ulama).

Dalam pandangan penulis ke delapan bagian itu dapat digantikan dengan yang lain, atau hanya diberikan secara prioritas untuk satu golongan saja hal itu tergantung pada kebijakan amil yang menjadi pengurus dan penyelesaain perkara zakat itu sendiri. jika pada satu keadaan terdapat satu hal yang lebih butuh dari sekalian yang lainnya maka diandang juga dapat digantikannya dengan hal lain yang lebih berniali dan betmanfaat. Berdasarkan pandangan ini didasari pada pandangan imam malik dan ibnu hanifah maka terhadap bagian ini juga berlaku prioritas, artinya bilamana ada diantara salah satu golongan tersebut ada maka dapat diberikan diberikan seluruhnya untuk bagian itu dan apabila tidak di dapati maka dinilai dapat di kembangkan kepada hal lainnya yang merupakan maslahah ammah atau maslahah mu’tabarah.

3. Zakat Pada Masa Rasulullah
Pada awal-awal hijrah ke Madinah zakat belum diberlakukan, pada waktu itu nabi muhammad, para sahabat dan segenap kaum muhajirin (orang-orang islam qurasy melakukan hijrah ke madinah) masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk menghidupkan diri dan keluarganya di tempat baru tersebut. Selain itu tidak semua orang mempunyai perekonomian yang cukup, kecuali usman bin affan karena semua kekayaan harta yang mereka miliki ditinggalkan di Makah. Pada saat perekonomian kaum muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan zakat sesuai dengan hukum mulai dijalankan sehingga pada saat itulah islam mulai menemuka kekuatan.
Pada masa nabi muhammad harta benda yang wajib di zakati adalah binatang ternak (kambing, sapi,unta), barang-barang berharga (emas, perak) dan dari tubuh tumbuhan (syair/biji, gandum, anggur, dan kurma). Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman dan berkembangnya harta benda yang wajib di zakati sesuai dengan illah, atas dasar illah ini kemudian ditetapkan hukum.
Pada masa nabi muhammad kuda tidak wajib dizakati karena diperlukan untuk peperangan, sementara pada masa umar bin khattab kuda sudah dikenai zakat karena sudah dikembangkan menjadi ternak. Demikian juga pada masa nabi muhammad hingga masa tabi’in tidak ada zakat pada rumah karena hanya digunakan untuk tempat tinggal akan tetapi setelah rumah disewakan hingga mendatangi hasil, imam ahmad bin hambal pun mengeluarkan zakat dari hasil sewa rumahnya. Begitu seterusnya mulai dari zaman sahabat harta yang dizakati berkembang sesuai dengan sifat perkembangan harta itu sendiri.
Meskipun harta yang wajib dizakati berkembang, zakat tetap menjadi kewajiban bagi kaum muslimin dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu pada masa khalifah abu bakar mereka yang enggan mengeluarkan zakat diperangi dan ditumpas karena dianggap telah melakukan pemberontakan terhadap hukum, ini menunjukkan bahwa zakat adalah merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar menawar.

4. Zakat Pada Masa Sahabat
Setelah Rasulullah saw wafat, kepemimpinan umat Islam diduduki oleh abu bakar siddiq. Setelah pembaiatan abu bakar menjadi khalifah, umat islam dalam keadaan merundung atas keulangan rasulullah, dua hari sebelum wafatnya rasulullah saw, beliau memerintahkan usamah untuk memerangi romawi, sehingga abu bakar harus menuntaskan dan melepaskan kepergian pasukan yang dipimpin oleh usamah tersebut, sampai mereka kembali dengan membawa pulang harta rampasan perang. Sekembalinya ke madinah abu bakar telah mempersiapkan misi untuk memberantas orang-orang murtad dari kabilah arab di sekitar madinah menyatakan keluar dari islam dan terhadap yang membangkang dan enggan mengeluarkan zakat sampai mereka mau menurutinya.
Pada masa khaifah umar bin khattab memperluas harta yang dikenakan zakat seperti kuda pada masa nabi muhammad belum dikenai zakat, sedang pada masa umar daerah suriah dan yaman menjadi pusat ternak dan merupakan barang dagangan yang mahal, juga diwajibkan pada masa itu seperti miju-miju, madu, kacang polong, zaitun yang telah dibudi dayakan secara masal.
Pada Khalifah Usman bin Affan, dengan kemunculan masalah-maslah baru dalam hal ekonomi seperti pinjam meminjam. Berkembang teori yang membedakan antara hutang atau kredit yang diharapkan dapat di bayar dengan kredit macet. Maka jenis kredit yang lancar dapat dikeluarkan pada setiap akhir tahun dan kredit macet diwajibkan pada saat dibayar.
Pada masa kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib ternak yang dipekerjakan tidak dikenakan zakat karena dianggap kebutuhan dasar petani. Ali bin abi thalib membolehkan pembayaran zakat dengan bentuk setara uang. Zakat unta bila dibayar dengan unta maka haruslah yang berumur satu tahun lebih muda dapat pula dikonfesasikan dengan dua ekor kambing atau dengan dua puluh dirham emas, namun pada masa ini kompensasinya dilakukan adalah dengan dua ekor kambing atau dengan sepuluh dirham mungkin saja disebabkan oleh harga kambing yang menurun drastis.
Dari beberapa keterangan ini menunjukkan terjadi perkembangan dari sudut instumetatif dan aplikatif dari zakat itu sendiri hal ini disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yang diantaranya sebagaimana yang telah penulis utarakan di atas, begitu juga dengan keadaan saat ini yang sangat memungkinkan terjadinya praktik-praktik jual beli yang dalam hitungan detik deposit memperoleh keuntungan yang lebih besar, maka untuk eksistesi zakat sebagai ideologi umat dalam hal ini juga sangat dibutuhkan formalisasi hukum yang di atur berdasarkan undang-undang syariah.

B. EPISTEMOLOGI ZAKAT
Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Untuk memberi kepastian pemahaman maka dalam hal ini perlu pendefinisian yang utuh sebagaimana P. Hardono Hadi memberi pengertian Epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menemukan kodrat dan skop pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya serta mempertanggung jawabkan atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
1. Tujuan Zakat Secara Filosifis
Diantara yang dapat dipahami dari perintah zakat disamping menjalankan sebagaimana yang perintah Allah dan Rasul hal tersebut memberi dampak positif terhadap pengembangan jiwa manusia itu sendiri hal ini sebagaimana di klasifikasikan oleh Qurasy Syihab adalah:
a. Mengkikis habis sifat-sifat kikir dalam jiwa seseorang serta melatih memiliki sifat dermawan dan mengantarkan mensyukuri nikmat Allah
b. Menciptakan ketentraman dan ketenangan tidak hanya bagi penerima namun juga bagi pemberi. Tidak terusik jiwa oleh kedengkian hai yang timbul dari mereka yang fakir, karena itu telah memberi ketentraman jiwa dari pemberi. Maka bagi manusia yang memiliki hati tentunya tidak rela melihat mereka yang selalu dirundung kesedihan
c. Mengembangkan harta benda dengan berproduktif. Sehingga secara psikologi mereka merasa malu apabila selalu menjadi penerima zakat sedangkan yang lainnya dapat berjaya dengan zakat itu.
Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa secara filosofis zakat harta yang dikeluarkan merupakan salah satu bentuk latihan apabila kita dihadapkan dengan kondisi bangkrut atau dengan kata lain berposisi sebagai penerima zakat itu sendiri, maka oleh karena itu jiwa si kaya hendaknya dapat merasakan jeritan si miskin. Di samping itu ketenteraman jiwa akan semakin sempurna karena tidak ada diantara mereka yang mengusik karena kebencian dan lain-lain oleh karena telah mencukupi untuk kebutuhan pokok dan untuk berproduktif.
2. Ideologi Zakat
Ideologi zakat adalah sebagai bentuk penjabaran dari tujuan zakat secara filosofis karena dalam hal ini pemberi zakat mengharapkan bagi mereka yang menerimanya dapat mampu mengembangkanya secara ekonomis, sehingga dengan banyaknya masyarakat yang mau berproduktif maka akan diperoleh kejayaan atas perkembangan ekonomi secara produktif. Maka oleh karena itu bila dikembangkan secara lebih lanjut ideologi zakat memiliki tujuan untuk:
1. melepaskan jiwa umat mansia dari kekufuran (Kadal Fakru Ayyakuna Kufran) "Kelaparan itu hampir membawa kepada kekufuran dan segala bentuk kemaksiatan”
2. mengokohkan agama dan negara. (Buniyal islamu ’ala khamsin.... Wa Itaaiz Zakati...) ” keluarkanlah zakat”
3. mengorbankan harta dari hasil usaha keras manusia itu sendiri bagi kemaslahatan yang lainnya, yang mana pengerbanan itu adalah semata-mata barang simpanan di sisi kepada allah. Termasuk juga dalam hal ini adalah terhindar dari sikap kikir yang dilarang oleh Allah (wala taj’al yadaka maghlulatan ila ’uniqika wala tabsyuthha) janganlah kalian membelenggu tangan mu di lehermu dan jangan pula terlalu mengulurnya
4. meningkatkan kesejahteraan dengan menambah pendapatan bagi yang kurang mampu bekerja dan dapat kembali dapat meniti kehidupan bagi kaum yang dilanda kelaparan sehingga tidak disebut sebagai orang-orang yang mendustakan agama. Berkaitan dengan hal ini adalah sebagaiman yang dibicarakan dalam (QS. Al-Ma’un: 1-8)
5. membersihkan harta dari pendapatan-pendapatan riba dan syubhat (QS. At-Taubah: 103, ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mengsucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka...”).
6. terciptanya daya beli dan produksi dengan persaingan yang tinggi bagi produser sehingga berpengaruh pada peningkatan penghasilan negara.
7. menjadikan kaum yang terpandang karena budi dan kedermawanan, tidak hanya dikalangan manusia namun juga disisi Allah swt. (QS. Ali-’imran: 92)
Meskipun zakat dalam kerangka teologi bukanlah suatu bentuk kedermawanan sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang, namun hal ini merupakan manefestasi dari sikap sosial sebagaimana halnya jika keadaan itu berbalik. Kewajiban zakat bagi kaum muslimin adalah karena kelebihan harta yang dimiliki yang diantara harta tersebut ada hak orang lain yakni mustahiq zakat. Karena itu kewajiban bagi orang yang telah diberikan kelebihan harta wajib mengeluarkan zakat dan pada sisi lain dikeluarkan dalam bentuk ”sadaqah” dan infaq.
Oleh sebab manusia adalah sebagai makhluk homo-sosies, sebab itu manusia tidak dapat menjalani kehidupan tanpa masyarakat lainnya, demikian juga dalam hal kebutuhan materi yang pada hakikatnya adalah saling memanfaatkan dan memberi manfaat atas hakikat yang diciptakan oleh Allah dalam usaha mencari karunia Allah yang bertebaran di atas bumi ini. Terhadap karunia yang diperoleh itu sedikit diantara bagian harta itu merupakan hak dari sebagian yang lain sehingga yang lain itu menggantikan haknya jikala kamu dalam mendapati kesulitan yang sama, untuk itu menjadi keharusan dalam memberi dari kelebihan harta yang Allah singgahi.
Dengan kata lain bahwa membayar zakat adalah mengembalikan sebagian hak milik orang lain yang lebih berhak menggunakannya. Maka untuk itu bukanlah suatu bentuk kerelaan atau berdasarkan kesadara individu sehingga bila terjadi pelanggaran tidak ada konsekuensi sosiologis, politik dan hukum. Berbeda halnya dengan orang yang tidak mengeluarkan pajak dalam lingkup kenegaraan, maka orang ini akan memperoleh sangsi hukum sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Berdasarkan pandangan ini seharusnya zakat juga harus ditetapkannya peraturan hukum tentang pelanggaran-pelanggaran.
Islam telah mengajar kita cara berekonomi dan mengembangkan modal dan menderma dengan suka rela dan mengeluarkan zakat sebagai kewajiban dalam membersihkan harta-harta kekayaan dari sentuhan pendapatan haram dan syubhad. Sehinggakan Allah telah menjanjikan ganjaran yang amat besar sekali orang-orang yang bertakwa.
artinya: “Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu, sebab itu akan Aku sediakan bagi mereka yang bertaqwa, mereka yang mengeluarkan Zakat dan mereka yang beriman dengan keterangan-keterangan Kami (Allah).” (Surah Al-A’raf 156)

Walaupun system zakat merupakan jaminan Ilahi dalam menangani masalah masyarakat, tetapi sejauh mana ia dapat dilaksanakan untuk mencapai kemaslahatan itu sangat bergantung pada pergerakan ekonomi negara, kebijaksanaan pengurus zakat dan terantung pada kesadaran pembayar zakat. Zakat merupakan sumber kekuatan ekonomi masyarakat Islam. Maka badan yang bertanggungjawab mengumpulkan zakat mempunyai tugas yang khusus yang telah ditentukan oleh Allah swt, yaitu mengagihkan zakat dari orang-kaya untuk dikepada delapan asnafs sebagaimana yang ditentukan Allah swt. Jika ini tidak dilakukan dengan sebaik-baiknya, masalah kemiskinan akan berterusan dan kemiskinan merupakan salah satu punca utama kepada kemungkaran dan kepincangan yang sedang berlaku disekililing kita dewasa ini. Sebagaimana Rasulullah saw sabda: "Kelaparan itu hampir membawa kepada kekufuran dan segala bentuk kemaksiatan”
Hadis ini jelas menggambarkan bahawa kelaparan yang timbul daripada kemiskinan boleh mendatangkan secara langsung gejala-gejala yang buruk, seperti penipuan, pencurian, pelacuran, pembunuhan dan sebagainya. Oleh itu masyarakat Islam perlu mengembeling tenaganya untuk menjadi penyempurna zakat yang positif untuk menolong mereka yang memerlukan.
Dari penerangan tadi jelas kepada kita peranan institusi zakat dalam membawa masyarakat Islam kepada pembaikkan dan sekaligus menepati tuntutan Allah swt. Islam telah mengajar kita melakukan amal jariah. Tetapi sejauh manalah kita dapat menghayati dan melaksanakannya dan dalam mencapai matlamat kita untuk mendapat keredaan Allah swt. Akhir sekali, kita perlu sedar bahwa seseorang Muslim tidak akan terlepas daripada kewajipan berzakat Kerana tanggungjawab ini tidak akan terlepas di akhirat. Bahkan seorang Muslim tidak akan sempurna imannya selagi dia belum menunaikan kewajipan zakatnya.

C. AKSIOLOGI ZAKAT
Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat yakni kegunaan atau fungsi dari apa yang dipikirkan itu.
1. Mentalitas Produktif
Zakat merupakan instrumen paling utama dalam sistem ekonomi Islam. Ia menjadi urat nadi bagi infrastruktur pembangunan dan ia juga merupakan sumber utama dalam struktur hasil pendapatan Negara. Banyak atau sedikitnya adalah bergantung kepada kesadaran umat Islam menghayatinya. Namun perlu digariskan bahwa dengan terlaksananya Sistem Zakat, tidak serta merta persoalan negara dapat terselesaikan dari masalah, namun dengan perkembangan zakat yang begitu baik sangat memperi keuntungan bagi kejayaan sebuah negara. Untuk itu kekuatan pembangunan dalam pandangan islam adalah terletak di atas zakat itu sendiri dan sistem yang dapat mengatur harta itu ke arah yang lebih produktif. Kesempurnaan pelaksanaannya akan menjamin individu, masyarakat, negara dan agama berada dalam keadaan, aman, damai serta mendapat rahmat dan keberkatan Allah.
Dalam keadaan di mana orang Islam mempunyai sikap positif `malu kalau tidak mengeluarkan zakat’ dipercayai hasil zakat akan meningkat dengan banyak. Akan timbul persoalan kemanakah zakat dibagikan setelah memenuhi keperluan sebahagian besar atau semua golongan, atau bolehkah zakat itu diambil untuk kepentingan umat Islam secara global, dan apakah ketika itu boleh digunakan untuk non muslim sebagai daya tarik mereka terhadap Islam.
Persoalan seperti di atas bukan khayalan, tetapi sebaliknya akan menjadi kenyataan kalau semua orang Islam mempunyai sikap ‘malu menerima zakat’. Apabila persoalan tersebut timbul, sudah pasti para ilmuan dan fuqaha untuk mencari atau penyelesaian hukum, bukanlah membiarkannya begitu saja tanpa ada jawaban. Jadi apapun juga keputusan hukum yang diambil ketika itu seharusnya tidak lari daripada tuntutan syarak yang mengutamakan kebajikan, kebijaksanaan dan keadilan, di samping menjaga maslahah dan juga tidak mengenyampingkan perundangan Islam yang mendasari kriteria hukum dan perlaksanaan kegiatan hidup muslimin.
Untuk menghadapi suasana sedemikian umat Islam sepatutnya terlebih dahulu mengatur langkah dengan segala ilmu dan kekuatan untuk berdepan dengan globalisasi kemajuan dunia yang sering menggugat keyakinan umat Islam itu sendiri. Para fuqaha` terdahulu telah banyak memberikan pendapat-pendapat mereka yang memiliki dasar nash sehingga dapat dijadikan panduan bagi umat Islam dan pengamal-pengamal zakat di Negara-negara Islam pada hari ini. Dalam sebagian pendapat zakat boleh disesuaikan dengan keperluan masa dan yang lainnya tidak. Oleh kerana pendapat mereka bukanlah nash qat`i, hal ini memberi peluang kepada para fuqaha mutaakhkhirin untuk mengemukakan pendapat berdasarka yang difikirkan, sejalan dengan tuntutan syarak, tidak lari dari roh perundangan Islam, sesuai dengan tuntutan masa atas keperluan negara dan umat Islam.
Masalahnya hari ini adalah kembali kepada kita bersama dan kepada sikap para ulama dan pihak-pihak berwajib untuk mentolerir suatu yang baru dari tradisi baru yang berlaku sebelumnya. Yang mungkin juga akan ada suara-suara yang kurang senang dengan pandangan ini, tetapi ini adalah suatu hakikat yang pasti akan dilalui apabila Negara mencapai satu tahap pembangunan yang pesat sehingga menuntut keterlibatan semua pihak dalam usaha menjunjung tinggi memartabatkan umat Islam dan ekonomi mendominasi globalisasi pembangunan dunia seluruhnya.
Halangan-halangan struktural yang dihadapi oleh pengamal-pengamal zakat, termasuk di antaranya struktur organisasi Majlis dan Jabatan Agama Islam di bawah kekuasaan pemerintah, sehingga usaha untuk menyeimbangi dan meluaskan mustahiq zakat agak sukar untuk direalisasikan. Contoh lain yang tidak kalah peenting dapat dilihat bahwa disebabkan oleh kerana zakat itu merupakan sistem terpenting dalam dasar fiskal dan kewangan Negara Islam, maka dalam keadaan normal sekurang-kurangnya hendaklah diurus untuk kelancaran administratif. Dalam upaya apapun juga suasana dan keadaan umat Islam dan pemerintah harus bertanggungjawab dan menjadikan institusi zakat itu unggul, bukan menempel dipinggiran dalam sistem yang ada. Jika setiap umat Islam sentiasa bersikap positif ia malu menerima zakat dan malu kalau tidak mengeluarkan zakat, adalah dipercayai dana zakat yang dikutip akan terus bertambah dengan banyaknya dan pada masa itu keperluan untuk menyatukan dana zakat menjadi tuntutan yang mendesak. Disinilah ilmuan Islam dan kepimpinannya akan teruji kewibawaannya dalam menyelesaikan program pembangunan sosio-ekonomi ummah secara terancang dan bersifat global.
Secara nyata kebutuhan mereka memang nampak hanya bisa di atasi dengan menggunakan harta zakat tersebut secara konsumtif, sebagai contoh untuk makan dan minum pada jangka waktu tertentu, pemenuhan pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan hidup lainnya yang bersifat mendesak yang lain, yang di pergunakan semata-mata untuk kepentingan fakir miskin. Pendapatan fakir miskin di harapkan meningkat sebagai hasil dari produktifitas mereka yang lebih tinggi. Senada dengan pendapat tersebut diatas, M. A. Mannan mengatakan, dana zakat dapat di dayagunakan untuk investasi produktif, membiayai bermacam-macam proyek pembangunan dalam bidang pendidikan, pemeliharaan kesehatan, air bersih dan aktifitas-aktifitas kesejahteraan sosial karena zakat bukanlah pemberian berupa belas kasihan, akan tetapi merupakan hak dari pihak-pihak tertentu yang bersangkutan langsung dengan harta tersebut. Semua itu dilakukan adalah agar tidak terjadi perbedaan ekonomi di antara masyarakat secara adil dan seksama, sehingga yang kaya tidak tumbuh menjadi semakin kaya (dengan mengeksploitasi anggota masyrakat yang miskin) dan yang miskin semakin miskin. Dengan demikian memberantas kemiskinan dengan hasil kerja produktif tentu lebih unggul dan bermartabat.
2. Akuntabilitas Ekonomi
Dapat dikatakan bahwa zakat merupakan undang-undang jaminan sosial pertama yang tidak mengandalkan sedekah atau sumbangan suka rela masyarakat. Undang-undang ini ditegakkan atas bantuan pemerintah untuk untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, baik sandang, pangan, papan, dan kebutuhan primer lainnya. Ini berlaku bagi seseorang secara pribadi berikut semua tanggungannya tanpa adanya pemborosan dan penghematan. Hal ini berlaku bukan hanya bagi kaum muslimin, namun mereka yang hidup di bawah naungan negara Islam, baik Yahudi maupun Nasrani. Inilah jaminan sosial dalam Islam yang belum terpikir oleh negara-negara Barat hingga saat belakangan ini. Kalaupun kalangan Barat mulai memperhatikannya, ia belum sampai kepada tingkat yang di ajarkan Islam, yaitu jaminan terhadap semua kebutuhan seseorang beserta keluarganya. Sebagai perbandingan kita lihat, bangsa Barat menempatkan jaminan sosial bukan karena rasa sayang kepada kalangan lemah semata. Ia didorong oleh berbagai revolusi dan gelombang paham komunisme-sosialisme. Perang dunia II juga mendorong mereka untuk mengulurkan tangan kepada masyarakat untuk membujuk mereka agar bersedia zakat jiwa atau fithrah dan zakat harta benda atau mal. Zakat yang pertama merupakan perintah yang terbanyak ditunaikan orang (kemungkinan besar karena ringan dan sangat sederhana).


DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemprer, (Jakarta: Gema Insan Press, 2001)

Agus Arifin, Step by Step Puasa Ramadhan Bagi Orang Sibuk, (Jakarta, Gramedia, 2009)

Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat, (Solo, PT. Tiga serangkai Pustaka Mandiri, 2008)

Al-Shaykh Muhammad ‘Abduh, Sayyid Qutub, Mahmud Abu Sa’ud dan al-Shaykh Abu Bakar al-Jaza’iri (al-Ashkar 2004)

Hilman Latif, Melayani Umat Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010)

http://journalsosiologiagama.blogspot.com/

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006)

Khadim al-Haramain asy-Syarifain ; Al-Qur’an dan Terjemahannya Edisi Revisi, 2001

Majma Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasith, Juz I(Mesir: Daar el-Ma’arif,1972)

Masdar Farid Mas’udi, Pajak itu Zakat: Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat, (Bandung: mizan, 2005)

Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta PT. Dana Bhakti Wakaf. 1993

Muhammad Quraisy Syihab, Jurnal Studi Ilmu Al-qur’an, PTIQ Jakarta

Muhammad Quraisy Syihab, Membumikan Al-qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2007)

Muhammad Akhtar Saeed Siddiqui, 1981. “A Study of Evolution of Ijtihad (Legal Reasoning) in The Development of The Zakat Law During The 1st Century A.H”, Tesis Ph.D, University of Edinburgh.

Muhammad Tamyes Abdul Wahid, 2002. “Matlamat Seminar Fiqh Zakat Kontemporari, Kertas Dasar Dibentangkan di Seminar Fiqh Zakat 2002, 31 Oktober

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’wal Marjan, terj, (Surabaya, Bina Ilmu)

Muhamad Balataji, Manhaj Umar bin Khattab Fi Tasyri’, (Jakarta Timur: Khalifah, 2005)

Mujamil Qamar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Bandung: PT. Aksara Gelora Permata)

Mustafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar Siddiq, (Bairut: dar al-fikr, 2007)

Madya Dato’ Dr. Hailani Muji Tahir, Pentafsiran dan Perlaksanaan Tagihan Zakat Fisabilillah Mengikut Keperluan Semasa di Malaysia, 9 jun 2009

Syaikh Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah Khusu Pria: Menjalankan Ibadah Sesuai dengan Tuntunan Al-qur’an dan Sunah, (Jakarta: al-mahira, 2007)

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah I, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008)

Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali, Syarah Riyadhush Shaihin, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2005)

Wahbah Wahbah al-Zuhaili, 1994. Terj. Md. Khir Hj. Yaacob, at el, Fiqh & Perundangan Islam, Jld. III, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka

Yusuf Kardawi, Hukum Zakat, cet.10, Jakarta: 2007

Zakat: Teori, Kutipan dan Agihan, (Selangor: Pusat Zakat Selangor), hlm. 8-10, Google Book, www.mybook.com.my

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama